Laman

Sunday, April 12, 2009

BAGAIMANA MENGELOLA KOPERASI

Sebagai suatu sub sistem sosial dari perekonomian Indonesia, dan sebagai lembaga yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan para anggotanya, Koperasi memiliki pranata-pranata atau asfek-asfek normatif yang membedakannya dari lembaga ekonomi lain (non Koperasi). Sebagai gerakan ekonomi rakyat, Koperasi merupakan suatu organisasi yang unik. Dari awal sejarah kelahirannya, Koperasi tetap teguh dengan komitmennya pada upaya menolong diri sendiri yang melandaskan pada prinsip-prinsip Koperasi yang khas. Prinisp-prinsp Koperasi ini (khusus Koperasi Indonesia dijelaskan pada Pasal 5 UU No. 25 Tahun 1992) merupakan jatidiri Koperasi, sehingga menjadi jelas letak bedanya dari lembaga ekonomi atau badan usaha lain, yang tentunya tidak terlepas dari nilai-nilai dasar Koperasi: demokrasi, partisipasi, kejujuran dan kepedulian. Keempat nilai dasar ini menjadi pedoman dalam mengarahkan jalannya organisasi Koperasi sebagai badan usaha yang dimiliki, dikelola dan didukung oleh anggotanya.
Sebagai suatu organisasi yang unik, keberhasilan atau kegagalan Koperasi ditentukan oleh tiga asfek yang ada didalamnya, yaitu asfek keanggotaan, kepengurusan dan keusahaan. Ketiga asfek ini diharuskan bergerak menurut pola-pola tindak yang kompleks, yang disamping ditentukan oleh interdepensi antara ketiganya, juga ditentukan atau dipengaruhi oleh situasi kondisi yang dalam hal ini adalah lingkungan yang ada disekitar Koperasi tersebut, disamping pula oleh kebijakan-kebijakan pemerintah.

Keusahaan




Keanggotaan Kepengurusn

Koperasi Indonesia yang melandaskan diri pada asas kekeluargaan dan kegotongroyongan, serta ditopang oleh prinsip Koperasi yang sangat ideal yang menempatkan unsur kemanusiaan sebagai hal yang diutamakan, sebenarnya merupakan alternatif di bidang kegiatan ekonomi yang tak dapat ditawar-tawar lagi untuk dimasuki oleh seluruh anggota masyarakat. Hal ini dikarenakan “kekeluargaan dan kegotongroyongan” merupakan suatu pranata yang telah berurat berakar pada masyarakat Indonesia sejak jaman nenek moyang. Tinggal sekarang dibutuhkan daya dorong atau motivasi yang mendukung nilai-nilai serta prinsip-prinsip Koperasi untuk dapat dijalankan sebagaimana mestinya oleh pengurus dan pengelola yang mengemban amanah dari anggota untuk menjalankan kegiatan usaha Koperasi. Karenanya yang ada pada pikiran pengurus seharusnya hanyalah yang terkait pada apa dan bagaimana yang harus dilakukan pengurus demi kepentingan anggota dan tujuan bersama Koperasi.
Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya pengurus dapat dibantu oleh pengelola (manajer), hal ini dijelaskan dalam Pasal 32 UU no. 25 tahun 1992. Dalam melaksanakan tugasnya pengurus dan pengelola tak dapat bekerja sepenuhnya tanpa partisipasi aktif anggota. Sebagai pemilik dan pelanggan, anggota dapat berbartisipasi dalam berbagai bentuk, yang menurut Muenkner antara lain:
1. menyumbangkan ide dalam penyusunan rencana kerja Koperasi
2. memberikan bantuan modal/material pada usaha Koperasi
3. ikut serta mengawasi jalannya organisasi Koperasi
4. memanfaatkan pelayanan Koperasi
Partisipasi anggota, baik dalam manajemen kepengurusan maupun manajemen usaha tentu amat menentukan tercapainya tujuan Koperasi dalam meningkatkan kesejahteraan anggotanya.
Sebaliknya partisipasi anggota akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana pengurus dapat menarik minat dan motivasi para anggota untuk merasa memiliki dan membutuhkan Koperasi, sehingga anggota akan berpartisipasi secara aktif. Untuk itulah pengurus harus mampu menserasikan usaha/kegiatan Koperasi dengan kebutuhan atau permintaan para anggota. Sebagai pemimpin, pengurus tidak boleh hanya berorientasi pada usaha untuk mendapat keuntungan semata ataupun hanya melihat kepentingan di luar anggota. Dalam hal inilah, maka dari diri pengurus diharapkan lahir atau memiliki sikap empaty (tepa selira), consideration (menaruh perhatian) dan surgency (mampu bergaul) terhadap kepentingan anggota dan Koperasi.

Disamping itu anggota sebagai insan Koperasi merupakan anggota yang berasal dari masyarakat, yang biasanya terdiri dari kelompok-kelompok dan bahkan ada yang memiliki reference group. Kelompok-kelompok demikian dapat menjadi penghambat, namun dapat pula merupakan potensi bagi Koperasi, tinggal tergantung pada kemampuan dan kejelian pengurus untuk memanfaatkannya. Untuk itu pengurus harus mampu menumbuhkan dan menjaga kekompakan anggota, sehingga anggota akan berpartisipasi aktif secara efektif dalam Koperasi. Terkait dengan hal ini Herman Soewardi (1995: 36) mengatakan “kepemimpinan letaknya dalam dinamika kelompok, dan merupakan variabel untuk terjelmanya kekompakan kelompok. Fungsi pemimpin adalah menyatupadukan langkah dan tindakan ke arah tercapainya tujuan kelompok (group goal)”. Inilah idealnya, dalam Koperasi harus terdapat kepemimpinan yang functional, yang mampu menjalankan dan mengelola usaha Koperasi dan mampu mengarahkan serta menggerakkan anggota untuk berpartisipasi aktif dalam Koperasi.
Selain ditentukan oleh ketiga asfek (keanggotaan, kepengurusan dan keusahaan), Koperasi dipengaruhi pula oleh kebijakan pemerintah. Khusus di Indonesia, pemerintah notabene sebagai pembina Koperasi (Pasal 60 UU No. 25 tahun 1992) memiliki kepentingan tertentu terhadap Koperasi, apalagi koperasi sebagai salah satu pelaku ekonomi (disamping BUMN dan BUMS) dan satu-satunya yang eksistensinya diakui secara konstitusional. Karenanya amatlah wajar bila pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan, baik yang terkait langsung dengan kepentingan Koperasi maupun tidak. Semisal kebijakan kepemilikan saham perusahaan oleh Koperasi, yang dimaksudkan sebagai salah satu upaya dalam membantu perkembangan Koperasi. Oleh karena itu, mau tidak mau berbagai kebijakan dan rencana yang diambil pengurus harus disesuaikan dengan kenbijakan pemerintah, khususnya yang terkait dengan kehidupan Koperasi.
Dari paparan di atas, maka Koperasi akan dapat tumbuh dan berkembang serta mencapai tujuannya, bila terjadi keserasisan atau harmoni antara asfek keanggotaan, kepengurusan dan keusahaan, dibarengi dengan situasi dan kondisi yang menunjang serta kebijakan pemerintah yang arif atau berpihak pada Koperasi.
Namun yang menjadi masalah adalah: 1) apakah semua Koperasi telah memiliki keanggotaan yang memenuhi syarat untuk perkembangan Koperasi?, 2) apakah Koperasi telah memiliki sumber daya (pengurus dan manajer serta karyawan) yang profesional yang mampu mengelola Koperasi sehingga dapat berkembang dan memberi manfaat pada anggota?; 3) apakah Koperasi telah memiliki daya dukung material (fasilitas) yang memadai untuk dapat dilaksanakannya suatu usaha/kegiatan demi kepentingan anggota?
Hal di atas penting, mengingat keberhasilan Koperasi sangat tergantung pada kualitas dan loyalitas para pengeloalanya (pengurus dan manajer) untuk bekerjasama dalam mencapai tujuan-tujuan Koperasi.
Suatu penelitian yang dilakukan pada KUD-KUD di Kabupaten Bandung (Suryana, 1993) memberikan kesimpulan antara lain sebagai berikut:
a. Ada keterkaitan antara daya dukung Koperasi khususnya yang berkenaan dengan kualifikasi pengurus dan manajer, pelayanan, iklim usaha, daya jangkau dan partisipasi anggota, yang secara bersama berpengaruh terhadap posisi pendanaan dan tingkat keberhasilan usaha KUD.
b. Semakin tinggi tingkat kualifikasi pengurus dan manajer, yang dilengkapi dengan tingkat pelayanan dan iklim usaha yang kondusif, maka semakin luas daya jangkau usaha dan partisipasi anggota.
c. Semakin luas jangkauan usaha dan semakin tinggi partsisipasi aktif anggota dalam kegiatan usaha medngakibatkan semakin tingginya posisi pendanaan dan tingkat keberhasilan KUD.
Kesimpulan di atas mengisyaratkan bahwa keberhasilan usaha KUD tidak hanya ditentukan oleh salah satu faktor yang berdiri sendiri dan tak dapat dikaji secara individual, melainkan ditentukan oleh berbagai faktor yang dikaji secara serempak.
Paparan di atas memberi kesimpulan “terdapat kesesuaian” antara interpretasi seperti yang diuraikan sebelumnya dengan realita yang ada di KUD, khususnya KUD di Kabupaten Bandung. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Bahwa kemampuan pengelola, dalam hal ini kualifikasi pengurus dan manajer merupakan faktor yang dapat menggerakkan anggota untuk berpartisipasi aktif. Inilah yang disebut pemimpin yang functional yang harus dimiliki oleh setiap Koperasi. Dengan demikian anggota sebagai insan Koperasi aktif berpartisipasi dalam Koperasi telah didorong oleh suatu motif yang memang disadari sebagai suatu kebutuhan terhadap Koperasi, tidak lagi sekadar ikut-ikutan atau terbawa arus, sehingga anggota betul-betul akan dapat memainkan peran (roles) nya sebagai insan Koperasi.
2. Adanya partisipasi aktif anggota tersebut dapat disebabkan karena letak tempat pelayanan Koperasi, cara-cara pelayanan ataupun harga-harga yang memang disukai dan diharapkan anggota. Pemenuhan unit-unit usaha yang diminta anggota melalui rapat anggota serta pengadaan tempat-tempat pelayanan KUD merupakan unsur penting dalam pelayanan kepada anggota. Dengan diperhatikan dan dipenuhinya hal ini oleh pengurus dapat menumbuhkan rasa memiliki KUD dalam diri anggota KUD.
3. Situasi kondisi lingkungan, dalam hal ini iklim usaha KUD yang ditunjukkan dengan banyaknya saingan usaha sejenis yang memiliki keunggulan komptetif dan komparatif, tidak mendukung terhadap keberhasilan usaha KUD. Disinilah diperlukan peran pengelola KUD yang profesional yang berjiwa wirakoperasi, sehingga mampu mencai strategi baru dengan mengusahakan keunggulan kompetitif dan komparatif, misalnya dengan cara mencari segmen pasar yang menguntungkan para anggota untuk memasarkan hasil produksinya. Kewirakoperasian amat penting, karena ia merupakan pranata dalam Koperasi, yang terkait dengan masalah pengambilan keputusan tentang arah dan langkah-langkah usaha Koperasi yang dilakukan pengurus dan manajer. Untuk itu diperlukan kemampuan managerial para pengelola Koperasi, sehingga iklim usaha akan mendukung terhadap keberhasilan KUD.
4. Peranan pendanaan sendiri KUD masih kurang/lemah terhadap keberhasilan KUD. Hal ini dikarenakan masih besarnya ketergantungan KUD terhadap pendanaan dari luar, khususnya dari pemerintah. Adanya bentuan dari pemerintah untuk mengembangkan Koperasi, khususnya dipedesaan. Namun sayang keadaan demikian masih dijadikan sebagai andalan sebagian KUD. Karenanya agar pendanaan sendiri KUD lebih dominan, Koperasi harus memperluas daya jangkau usahanya dan tentu pula peran partisipasi aktif dari anggotanya.

Dengan demikian jelas bahwa Koperasi yang telah mampu menseimbangkan asfek kepengurusan dengan kepemimpinannya, asfek keanggotaan yang ditunjukkan dengan kekompakan partisipasi anggota serta asfek keusahaan yang ditunjukkan dengan managerial skill, maka suatu Koperasi dapat mencapai kemandirian, dalam arti mampu mencapai tujuannya. Kepengurusan, kanggotaan daan keusahaan dalam Koperasi merupakan faktor yang saling terkait secara simultan dan dipengaruhi pula oleh situasi (iklim-lingkungan) dan kebijakan pemerintah.

No comments:

Post a Comment